
“Main Character Syndrome”, antara Eksis dan Kehilangan Jati Diri
Media sosial telah mengubah cara kita memandang diri sendiri dan dunia di sekitar kita. Hidup kini terasa seperti panggung, di mana setiap momen menjadi “cerita utama” yang layak dibagikan. Fenomena Main Character Syndrome muncul dari kebiasaan ini—di mana seseorang melihat dirinya sebagai tokoh utama dalam “film” di kehidupan. Tren ini sering dikaitkan dengan istilah Self-Centered Generation karena mendorong kita untuk lebih fokus pada pencitraan diri dibandingkan realitas.
Anggaplah hidup seperti sebuah film. Kadang kita menjadi pemeran utama, kadang hanya penonton. Tapi apa jadinya jika kita terus-menerus ingin berada di pusat layar? Inilah salah satu contoh bagaimana media sosial dan budaya digital memengaruhi cara kita memahami diri sendiri.
Main Character Syndrome, dari Istilah ke Realita
Singkatnya, Main Character Syndrome adalah kebiasaan melihat diri sendiri sebagai pusat dari segala sesuatu. Istilah ini awalnya hanya lelucon di TikTok, tapi lama-lama jadi semakin nyata dalam kehidupan sehari-hari. Kita mulai menata hidup layaknya sebuah cerita yang harus menarik, penuh drama, dan selalu pantas untuk dipamerkan di media sosial.
Fenomena ini berkaitan erat dengan spotlight effect, yaitu perasaan bahwa orang lain selalu memperhatikan kita, padahal kenyataannya tidak selalu begitu. Menurut Dr. Susan Albers, PsyD dari Cleveland Clinic, perasaan ini bisa menjadi cara seseorang mengatasi stres atau rasa kurang percaya diri. Namun, bila berlebihan, bisa mengarah ke sifat narsistik yang merusak hubungan sosial.
Bagaimana Media Sosial Mempengaruhi Kepribadian Kita?
Media sosial bukan cuma tempat berbagi, tapi juga ajang eksistensi. Fenomena Main Character Syndrome semakin kuat karena algoritma platform digital dirancang untuk mendorong interaksi dan perhatian. Semakin banyak like dan komentar yang kita dapat, semakin besar dorongan untuk terus tampil.
Sebuah penelitian dari National Library of Medicine menunjukkan bahwa media sosial dapat memengaruhi kepribadian seseorang, meskipun sifatnya sementara. Saat intensitas penggunaan media sosial meningkat, kita lebih cenderung membentuk citra ideal diri yang mungkin berbeda dari kepribadian asli kita.

Fenomena Main Character Syndrome – Era Digital dan Narasi Diri.jpg (Foto: Freepik.com)
Era Digital dan Narasi Diri
Sekarang, banyak orang merasa harus memiliki kisah hidup yang menarik. Kita terbiasa mengkurasi foto, video, dan caption agar terlihat sempurna. Inilah yang disebut fenomena narasi hidup di era digital. Batas antara dunia nyata dan dunia maya semakin kabur, membuat kita merasa harus selalu tampil sempurna agar mendapat validasi dari orang lain.
Baca juga: Media Sosial dan Brain Rot, Ancaman Nyata atau Evolusi Digital?
Kenapa Kita Suka Menjadi “Pusat Cerita” di Era Digital?
Manusia secara alami ingin dilihat, dihargai, dan diakui. Di era digital, kesempatan untuk “terlihat” jadi lebih besar dari sebelumnya. Momen kecil dalam hidup pun bisa diubah jadi konten menarik. Lama-kelamaan, muncul kebiasaan untuk terus menampilkan diri dengan cara yang lebih dramatis, seolah semua yang terjadi harus punya makna khusus.
Antara Percaya Diri dan Terlalu Fokus pada Diri Sendiri
Percaya diri itu bagus. Tapi jika kita terlalu sibuk menciptakan citra diri di media sosial, bisa-bisa kita malah kehilangan keseimbangan. Inilah yang sering dikaitkan dengan Self-Centered Generation, yaitu generasi yang lebih fokus pada pencitraan diri dibandingkan interaksi sosial yang tulus.
Sederhananya seperti ini:
✅ Percaya diri yang sehat = sadar akan nilai diri tanpa perlu validasi berlebihan.
❌ Narsisme halus = selalu mencari perhatian dan eksistensi di media sosial.
Sisi Positif dan Negatif Main Character Syndrome
Fenomena Main Character Syndrome bisa jadi dorongan positif untuk lebih percaya diri dan berani mengekspresikan diri. Meski begitu, jika terlalu jauh, maka kita akan terjebak dalam ekspektasi yang melelahkan dan kehilangan koneksi dengan realitas.
Tidak selamanya buruk, Fenomena Main Character Syndrome juga bisa berdampak positif.

Fenomena Main Character Syndrome – Manfaat dan Risiko.jpg (Foto: CANVA.com)
Menikmati Sorotan Tanpa Kehilangan Jati Diri
Wajar kalau kita ingin merasa spesial. Tapi hidup bukan hanya soal diri kita sendiri. Fenomena Main Character Syndrome bisa bermanfaat kalau kita memahami batasannya. Misalnya, gunakan kebiasaan ini untuk meningkatkan kreativitas, tapi jangan sampai kehilangan empati terhadap orang lain.
Coba kurangi kebiasaan membandingkan diri dengan orang lain di media sosial dan lebih banyak menikmati momen tanpa harus selalu “menjadikannya konten.” Yang paling penting, tetap autentik dan jangan sampai citra yang dibangun di dunia maya membuat kita lupa dengan diri sendiri yang sebenarnya.
Bijak Kelola Main Character Syndrome agar Tetap Kritis dan Empati
Jika kita bisa mengelola Fenomena Main Character Syndrome dengan baik, maka kita tetap bisa menikmati perhatian tanpa kehilangan keseimbangan. Yang perlu diingat:
- Jangan hanya fokus pada pencitraan, tapi juga kualitas interaksi;
- Ingat bahwa media sosial hanya menampilkan potongan hidup orang lain, bukan keseluruhannya;
- Bangun rasa percaya diri yang sehat tanpa bergantung pada validasi eksternal.
Dengan memahami ini, kita bisa tetap menikmati sorotan tanpa kehilangan jati diri. Karena pada akhirnya, hidup yang paling berharga adalah yang dijalani dengan tulus, bukan sekadar yang terlihat menarik di media sosial.
Kesimpulan
Main Character Syndrome bisa menjadi alat untuk meningkatkan kepercayaan diri dan kreativitas, tetapi jika berlebihan, kita bisa terjebak dalam pencitraan yang melelahkan. Alih-alih terus mencari validasi di media sosial, lebih baik fokus pada keseimbangan antara mengekspresikan diri dan tetap autentik. Jangan sampai keinginan menjadi “tokoh utama” justru membuat kita kehilangan koneksi dengan dunia nyata.
Referensi
- Cleveland Clinic (2023). “You’re the Star of the Show With Main Character Syndrome”. Diakses melalui: https://health.clevelandclinic.org/what-to-know-about-main-character-syndrome
- National Library of Medicine (2022). “Temporary change in personality states among social media users: effects of Instagram use on Big Five personality states and consumers’ need for uniqueness”. Diakses melalui: https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC10653346/
Baca juga: Jumping to Conclusions atau Berpikir Kritis, Pilih Mana?

